Mahasiswa Internasional Alami Pembatasan Aktivitas di Gunung Kidul, Soroti Citra Indonesia di Mata Dunia
Gunung Kidul, Yogyakarta|wartaindonesiaterkini.com – Sebuah pengalaman kurang menyenangkan dialami sekelompok mahasiswa lintas negara saat melakukan kegiatan pembelajaran budaya di Dusun Kendal, Desa Melikan, Gunung Kidul. Emanuel Odo, mahasiswa Hubungan Internasional asal Indonesia yang ikut dalam kegiatan tersebut, menuturkan bahwa kedatangan mereka bersama rekan-rekan dari Jerman, Laos, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia justru disambut dengan sikap penuh kecurigaan dari aparat setempat.
Padahal, menurut Emanuel, tujuan kedatangan mereka semata-mata untuk belajar langsung dari komunitas penganut kepercayaan Kejawen Urip Sejati, yang selama ini menjaga tradisi dan kearifan lokal Nusantara. “Kami datang bukan untuk politik, bukan untuk propaganda, melainkan sekadar belajar dari masyarakat,” ujarnya.
Namun, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Emanuel menuturkan, aktivitas mereka dipantau ketat dan dibatasi hanya boleh berjalan sejauh 50 meter dari rumah tempat mereka tinggal. Upaya mereka untuk ikut belajar bertani bersama warga setempat pun ditolak. Kehadiran aparat yang silih berganti membuat rombongan mahasiswa asing itu merasa seakan-akan diperlakukan sebagai mata-mata.
“Alih-alih merasakan keramahan pedesaan, kami justru dijejali tatapan curiga dan intimidasi. Ini bukan wajah ramah Indonesia yang selalu digembar-gemborkan di panggung internasional,” ungkap Emanuel.
Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, Emanuel menilai pengalaman tersebut dapat merusak citra Indonesia di mata dunia. Menurutnya, diplomasi budaya dan pengalaman kecil di tingkat akar rumput memiliki peran penting dalam membangun soft power suatu negara.
“Tidakkah mereka sadar bahwa citra bangsa bukan hanya dibangun lewat diplomasi resmi, tetapi juga lewat interaksi seperti ini? Kawan-kawan saya seharusnya bisa menjadi duta tidak resmi yang mempromosikan Indonesia, namun malah pulang dengan cerita horor,” tambahnya.
Emanuel pun mempertanyakan pemahaman aparat setempat tentang arti soft power. “Kalau mereka mengerti, mestinya perlakuan terhadap kami berbeda. Jangan-jangan pemerintah kita lebih nyaman berperan sebagai ‘penjaga ketertiban’ tanpa peduli pada kehormatan bangsa di mata global,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pemerintah setempat maupun aparat terkait pembatasan aktivitas kelompok mahasiswa internasional tersebut. ( Alvin )